Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI BANYUWANGI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2023/PN Byw 1.Mulyadi
2.Suwarno
3.Untung
2.Kepolisian Republik Indonesia Daerah Jawa Timur Resort Kota Banyuwangi
3.Kepolisian Republik Indonesia Daerah Jawa Timur
4.Kejaksaan Tinggi Jawa Timur
Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 30 Jan. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2023/PN Byw
Tanggal Surat Senin, 30 Jan. 2023
Nomor Surat 59/HK/2023/PN Byw
Pemohon
NoNama
1Mulyadi
2Suwarno
3Untung
Termohon
NoNama
1Kepolisian Republik Indonesia Daerah Jawa Timur Resort Kota Banyuwangi
2Kepolisian Republik Indonesia Daerah Jawa Timur
3Kejaksaan Tinggi Jawa Timur
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
Adapun yang menjadi dasar dan alasan permohonan Para Pemohon adalah sebagai berikut :
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. Bahwa, Praperadilan lahir karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak atas kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut secara benar dan sah sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seseorang itu benar-benar telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia;
 
2. Bahwa, Menurut Andi Hamzah (1986:10), praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia terpenuhi. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka;
 
3. Bahwa, sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan : “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
 
4. Bahwa, selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah: “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
 
5. Bahwa, dalam perkembangannya pengaturan mengenai Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP , sering kali tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara, termasuk dalam penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Untuk itu, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 menyempurnakan kewenangan lembaga praperadilan yang juga dapat memeriksa dan dan mengadili terkait penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
• [dst]
• [dst]
• Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
• Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
 
6. Bahwa, dengan demikian berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan;
 
7. Bahwa, mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan tersebut. Sehingga oleh karenanya, Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Para Pemohon memiliki dasar hukum yang kuat untuk diterima dan dikabulkan.
 
II. LEGAL STANDING PARA PEMOHON
1. Bahwa, Pemohon I (Mulyadi) merupakan petani dan sampai saat menjabat sebagai kepala desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi;
 
2. Bahwa, Pemohon II (Suwarno) merupakan petani dan sampai saat ini menjabat kepala dusun Durenan, Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi;
 
3. Bahwa, sedangkan Pemohon III (Untung) merupakan petani dan sampai saat ini menjabat kepala dusun Taman Glugo, Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi;
 
4. Bahwa, sejak zaman penjajahan Belanda hingga saat ini, para petani yang ada di desa Para Pemohon telah memperjuangkan hak atas tanahnya. Berdasarkan berbagai catatan dan dokumen, sejarah panjang perjuangan para petani Desa Pakel, sebagai berikut:
 
5. Bahwa, Para Pemohon pada tanggal 20 Januari 2023 menerima surat panggilan dari Termohon 2, yakni surat panggilan nomor : S.pgl/174/I/Res.1.24/2023/Ditreskrimum, tertanggal 16 Januari 2023, S.pgl/175/I/Res.1.24/2023/Ditreskrimum, tertanggal 16 Januari 2023, S.pgl/176/I/Res.1.24/2023/Ditreskrimum, tertanggal 16 Januari 2023, hal mana berdasarkan surat panggilan tersebut, Para Pemohon telah berstatus sebagai TERSANGKA;
 
6. Bahwa, dengan demikian Para Pemohon yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Termohon 2 tersebut memiliki legal standing untuk mengajukan Permohonan Praperadilan. Sehingga oleh karenanya, Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Para Pemohon memiliki dasar hukum yang kuat untuk diterima dan dikabulkan menurut hukum.
 
III. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. Bahwa, Para Pemohon pada akhir bulan Oktober 2022 menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Termohon 2 (in casu Kepolisian Daerah Jawa Timur) nomor : B/310/X/RES.1.24/2022/Ditreskrimum, tertanggal 21 Oktober 2022, yang pada pokoknya memberitahukan bahwa Termohon 2 sejak tanggal 21 Oktober 2022 telah mulai melakukan penyidikan dugaan tindak pidana barang siapa menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat dan atau barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 dan atau 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilaporkan oleh SUPARMO kepada Termohon 1 (in casu Kepolisian Dareah Jawa Timur Resort Kota Banyuwangi) sebagaimana Laporan Polisi Nomor : LP.B/286/VIII/2022/SPKT/Polresta Banyuwangi/Polda Jawa Timur, tanggal 18 Agustus 2022 yang diterbitkan oleh Termohon 1;
 
2. Bahwa, SPDP tersebut dikirimkan kepada Turut Termohon (in casu Kejaksaan Tinggi Jawa Timur) dengan tembusan Kapolda Jatim, Irwasda Polda Jatim, Ditreskrimum Polda Jatim, Kabidkum Polda Jatim, Kabidpropam Polda Jatim, Sdr. Suparmo (Pelapor), dan Sdr. Abdillah, Dkk. (terlapor). Sedangkan nama-nama Para Pemohon tidak terdapat didalam SPDP tersebut;
 
3. Bahwa, Para Pemohon tidak tahu mengapa mendapatkan SPDP tersebut dari Termohon 2 karena didalamnya selain tidak dijelaskan mengenai peristiwa apa yang sedang dilakukan penyidikan yang diduga merupakan peristiwa pidana, juga tidak disebutkan apa status Para Pemohon dalam peristiwa tersebut karena sama sekali tidak ada nama Para Pemohon didalamnya;
 
4. Bahwa, sebelumnya Para Pemohon juga tidak pernah menerima surat permintaan klarifikasi yang dikirimkan secara sah dan resmi, baik dari Termohon 1 selaku yang menerima laporan a quo maupun Termohon 2, terkait peristiwa pidana yang sedang dilaporkan oleh Sdr. Suparmo.  Sehingga apabila ada permintaan klarifikasi kepada Para Pemohon, maka Para Pemohon bisa saja akan dapat memahami mengenai duduk perkaranya dan dapat memberikan klarifikasi;
 
5. Bahwa, selanjutnya Para Pemohon pada bulan November 2022 mendapatkan surat panggilan dari Termohon 2 yang pada pokoknya para Pemohon diminta untuk hadir dan menghadap AKP Sumi Ardana, S.H., M.H., Penyidik Unit II Subdit I TP Kamneg pada kantor Termohon 2 untuk dimintai keterangan sabagai saksi dalam perkara dugaan tindak pidana barang siapa menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat dan atau barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 dan atau 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, masing-masing sebagai berikut :
a. Pemohon I (Mulyadi) pada tanggal 7 November 2022 menerima surat nomor : S.pgl/6559/XI/Res.1.24/2022/Ditreskrimum, tertanggal 03 November 2022 untuk hadir pada hari Selasa tanggal 15 November 2022 pukul 14.00 Wib. Surat tersebut dikirim melalui jasa pengiriman JNE dengan nomor resi : 030340024091222, yang mana berdasarkan sistem  tracking surat tersebut diterima oleh SUPARMO pada tanggal 5 November 2022 pukul 14:56. Pemohon I baru menerima surat tersebut dari Pemohon III (Untung) pada tanggal 7 November 2022. Halmana, Pemohon III menerima surat tersebut dari anaknya pada tanggal 7 November 2022;
b. Pemohon II (Suwarno) pada tanggal 7 November 2022 menerima surat nomor : S.pgl/6556/XI/Res.1.24/2022/Ditreskrimum, tertanggal 03 November 2022 untuk hadir pada hari Senin tanggal 14 November 2022 pukul 10.00 Wib. Surat tersebut dikirim melalui jasa pengiriman JNE dengan nomor resi : 030340024075222, yang mana berdasarkan sistem  tracking surat tersebut diterima oleh SUPARMO pada tanggal 5 November 2022 pukul 14:56. Pemohon II baru menerima surat tersebut dari Pemohon III (Untung) pada tanggal 7 November 2022. Halmana, Pemohon III menerima surat tersebut dari anaknya pada tanggal 7 November 2022;
c. Pemohon III (Untung) pada tanggal 7 November 2022 menerima surat nomor : S.pgl/6557/XI/Res.1.24/2022/Ditreskrimum, tertanggal 03 November 2022 untuk hadir pada hari Senin tanggal 14 November 2022 pukul 14.00 Wib. Surat tersebut dikirim melalui jasa pengiriman JNE dengan nomor resi : 030340024089622, yang mana berdasarkan sistem  tracking surat tersebut diterima oleh SUPARMO pada tanggal 5 November 2022 pukul 14:56. Pemohon III baru menerima surat tersebut dari anaknya pada tanggal 7 November 2022;
 
6. Bahwa, terhadap panggilan sebagaimana tersebut di atas, Para Pemohon tidak hadir dengan alasan :
a. Pada surat tersebut tidak dijelaskan terkait peristiwa yang diduga merupakan peristiwa pidana yang akan dimintakan keterangan kepada para Pemohon, kapan (tempus) dan dimana (locus) peristiwa tersebut terjadi. Sehingga para Pemohon bingung akan menyampaikan apa; dan
b. Surat tersebut tidak disampaikan oleh petugas sebagaimana dimaksud oleh pasal 227 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lebih-lebih berdasarkan hasil tracking resi pengiriman JNE, surat-surat panggilan tersebut diterima oleh Suparmo (menurut dugaan Para Pemohon adalah Pelapor);
 
7. Bahwa, kemudian Termohon 2 melakukan pemanggilan ke II kepada Para Pemohon dalam jarak waktu yang sangat berdekatan dengan surat panggilan yang pertama, masing-masing sebagai berikut :
a. Pemohon I (Mulyadi) pada tanggal 21 November 2022 menerima surat nomor : S.pgl/6559.A/XI/Res.1.24/2022/Ditreskrimum, tertanggal 16 November 2022 untuk hadir pada hari Senin tanggal 21 November 2022 pukul 14.00 Wib. Surat tersebut dikirim melalui jasa pengiriman JNE. Pemohon I sendiri baru menerima surat tersebut dari Staf Pemerintah Desa Pakel pada tanggal 21 November 2022, yakni dihari yang sama dengan jadwal pemeriksaan;
b. Pemohon II (Suwarno) pada tanggal 21 November 2022 menerima surat nomor : S.pgl/6556.A/XI/Res.1.24/2022/Ditreskrimum, tertanggal 16 November 2022 untuk hadir pada hari Selasa tanggal 22 November 2022 pukul 10.00 Wib. Surat tersebut dikirim melalui jasa pengiriman JNE, Pemohon II sendiri baru menerima surat tersebut dari Pemohon I pada tanggal 21 November 2022, yakni sehari sebelum jadwal pemeriksaan. Surat tersebut sebelumnya diterima Staf Pemerintah Desa Pakel pada tanggal 21 November 2022, kemudian diserahkan kepada Pemohon I yang diteruskan kepada Pemohon II;
c. Pemohon III (Untung) pada tanggal 21 November 2022 menerima surat nomor : S.pgl/6557.A/XI/Res.1.24/2022/Ditreskrimum, tertanggal 16 November 2022 untuk hadir pada hari Senin tanggal 21 November 2022 pukul 10.00 Wib. Surat tersebut dikirim melalui jasa pengiriman JNE. Pemohon III sendiri baru menerima surat tersebut dari Pemohon I pada tanggal 21 November 2022, yakni dihari yang sama dengan jadwal pemeriksaan. Surat tersebut sebelumnya diterima Staf Pemerintah Desa Pakel pada tanggal 21 November 2022, kemudian diserahkan kepada Pemohon I yang diteruskan kepada Pemohon III;
 
8. Bahwa, terhadap panggilan kedua sebagaimana tersebut di atas, Para Pemohon tidak hadir dengan alasan :
a. Surat tersebut tidak disampaikan oleh petugas dan disampaikan dalam tenggang waktu yang melanggar serta tidak sesuai dengan ketentuan pasal 112 dan pasal 227 KUHAP. Surat tersebut baru diterima oleh Pemohon I dan Pemohon III pada hari yang sama dengan pemeriksaan. Sedangkan Pemohon II menerima surat panggilan kedua tersebut sehari sebelum jadwal pemeriksaan;
b. Pada surat tersebut lagi-lagi tidak dijelaskan terkait peristiwa yang diduga merupakan peristiwa pidana yang akan dimintakan keterangan kepada Para Pemohon, kapan (tempus) dan dimana (locus) peristiwa tersebut terjadi;
 
9. Bahwa, Para Pemohon melalui kuasanya telah berkirim surat keberatan kepada Termohon 2 karena didalam surat panggilan Termohon 2 tidak dijelaskan terkait peristiwa yang diduga merupakan peristiwa pidana yang akan dimintakan keterangan kepada Para Pemohon, kapan (tempus) dan dimana (locus) peristiwa tersebut terjadi sebagaimana ketentuan pasal 112 KUHAP, dengan harapan Termohon 2 memberikan penjelasan dan Para Pemohon dapat pemberikan keterangan terkait peristiwa tersebut. Namun Termohon 2 sama sekali tidak membalas dan atau memberikan penjelasan kepada Para Pemohon;
 
10. Bahwa, selanjutnya pada tanggal 20 Januari 2023, Para Pemohon kembali menerima surat panggilan dari Termohon 2 yang dikirimkan melalui jasa pengiriman JNE, masing-masing  sebagai berikut :
a. Pemohon I (Mulyadi) pada tanggal 20 Januari 2023 menerima surat nomor : S.pgl/174/I/Res.1.24/2023/Ditreskrimum, tertanggal 16 Januari 2023 untuk hadir pada hari Kamis tanggal 19 Januari 2023 pukul 10.00 Wib, untuk dilakukan pemeriksaan sebagai TERSANGKA. Surat tersebut dikirim melalui jasa pengiriman JNE. Pemohon I sendiri baru menerima surat tersebut dari Staf Pemerintah Desa Pakel pada tanggal 20 Januari 2023, yakni sehari setelah jadwal pemeriksaan. Berdasarkan keterangan dari Staf Pemerintah Desa Pakel, Surat tersebut diterima dari seorang guru di SDN 3 Pakel pada tanggal 19 Januari 2023;
b. Pemohon II (Suwarno) pada tanggal 20 Januari 2023 menerima surat nomor : S.pgl/175/XI/Res.1.24/2023/Ditreskrimum, tertanggal 16 Januari 2023 untuk hadir pada hari Kamis tanggal 19 Januari pukul 10.00 Wib, untuk dilakukan pemeriksaan sebagai TERSANGKA. Surat tersebut dikirim melalui jasa pengiriman JNE. Pemohon II sendiri baru menerima surat tersebut dari Pemohon III, hal mana berdasarkan keterangan Pemohon III, ia menerima surat tersebut dari Staf Pemerintah Desa Pakel pada tanggal 20 Januari 2023, yakni sehari setelah jadwal pemeriksaan. Berdasarkan keterangan dari Staf Pemerintah Desa Pakel, Surat tersebut diterima dari seorang guru di SDN 3 Pakel pada tanggal 19 Januari 2023;
c. Pemohon III (Untung) pada tanggal 20 Januari 2023 menerima surat nomor : S.pgl/176/I/Res.1.24/2023/Ditreskrimum, tertanggal 16 Januari 2023 untuk hadir pada hari Kamis tanggal 19 Januari pukul 10.00 Wib, untuk dilakukan pemeriksaan sebagai TERSANGKA. Surat tersebut dikirim melalui jasa pengiriman JNE. Pemohon III sendiri baru menerima surat tersebut dari Staf Pemerintah Desa Pakel pada tanggal 20 Januari 2023, yakni sehari setelah jadwal pemeriksaan. Berdasarkan keterangan dari Staf Pemerintah Desa Pakel, Surat tersebut diterima dari seorang guru di SDN 3 Pakel pada tanggal 19 Januari 2023;
 
11. Bahwa, terhadap panggilan sebagaimana tersebut di atas, Para Pemohon tidak hadir dengan alasan :
a. Surat tersebut tidak disampaikan oleh petugas dan disampaikan dalam tenggang waktu yang melanggar serta tidak sesuai dengan ketentuan pasal 112 jo. pasal 227 KUHAP. Surat tersebut baru diterima oleh Para Pemohon sehari setelah jadwal pemeriksaan;
b. Pada surat tersebut lagi-lagi tidak dijelaskan terkait peristiwa yang diduga merupakan peristiwa pidana yang akan dimintakan keterangan kepada para Pemohon, kapan (tempus) dan dimana (locus) peristiwa tersebut terjadi;
 
12. Bahwa, Para Pemohon hingga saat ini (hingga diajukannya permohon ini) tidak pernah menerima Surat Keputusan atau Penetapan sebagai tersangka, baik dari Termohon 1 ataupun Termohon 2. Sehingga Para Pemohon merasa bingung dan tidak pernah tahu apa yang menjadi dasar dan alasan ditetapkannya Para Pemohon sebagai Tersangka;
 
13. Bahwa, kemudian pada tanggal 27 Januari 2023 Para Pemohon kembali mendapatkan Surat Panggilan II dari Termohon 2 yang lagi-lagi dikirimkan melalui jasa pengiriman JNE, masing-masing sebagai berikut :
a. Pemohon I (Mulyadi) pada tanggal 27 Januari 2023 menerima surat nomor : S.pgl/174.A/I/Res.1.24/2023/Ditreskrimum, tertanggal 25 Januari 2023 untuk hadir pada hari Senin tanggal 30 Januari 2023 pukul 10.00 Wib, untuk dilakukan pemeriksaan sebagai TERSANGKA. Surat tersebut dikirim melalui jasa pengiriman JNE dengan nomor resi : 030340001620023, yang mana berdasarkan sistem  tracking surat tersebut diterima oleh Mulyadi Kepala Desa Pakel (Pemohon I), pada tanggal 27 Januari pukul 15:11 Wib.;
b. Pemohon II (Suwarno) pada tanggal 27 Januari 2023 menerima surat nomor : S.pgl/175.A/XI/Res.1.24/2023/Ditreskrimum, tertanggal 25 Januari 2023 untuk hadir pada hari Senin tanggal 30 Januari pukul 10.00 Wib, untuk dilakukan pemeriksaan sebagai TERSANGKA. Surat tersebut dikirim melalui jasa pengiriman JNE dengan nomor resi : 030340001622823, yang mana berdasarkan sistem tracking surat tersebut diterima oleh Suwarno (Kepala Dusun Durenan) pada tanggal 27 Januari pukul 15:08 Wib. Faktanya, yang menerima surat tersebut bukan Pemohon II sendiri. Pemohon II baru menerima surat tersebut satu jam setelahnya, yakni sekitar pukul 16.08 Wib.;
c. Pemohon III (Untung) pada tanggal 27 Januari 2023 menerima surat nomor : S.pgl/176.A/I/Res.1.24/2023/Ditreskrimum, tertanggal 25 Januari 2023 untuk hadir pada hari Senin tanggal 30 Januari pukul 10.00 Wib, untuk dilakukan pemeriksaan sebagai TERSANGKA. Surat tersebut dikirim melalui jasa pengiriman JNE dengan nomor resi : 030340001623723, yang mana berdasarkan sistem tracking surat tersebut diterima oleh dan tertulis Untung Kepala Desa Taman Glugo, pada tanggal 27Januari pukul 15:55 Wib. Faktanya, Pemohon III tidak menerima sendiri surat tersebut. Pemohon III menerima dari anaknya karena pada saat itu Pemohon III masih mencari rumput untuk pakan ternak;
 
14. Bahwa, berdasarkan surat-surat panggilan tersebut di atas diketahui hal-hal sebagai berikut :
a. Bahwa, perkara yang akan dimintakan keterangan kepada Para Pemohon merupakan perkara yang pada mulanya dilaporkan kepada Termohon 1 oleh pelapor bernama Suparmo, sebagaimana Laporan Polisi Nomor: LP.B/286/VIII/2022/SPK/Polresta Banyuwangi/Polda Jawa Timur, tanggal 18 Agustus 2022;
b. Bahwa, tanpa diketahui alasannya selanjutnya Termohon 1 melimpahkan laporan tersebut kepada Termohon 2 sesuai Surat Termohon 1 Nomor : R/393/IX/RES.7.5./2022/Satreskrim, tanggal 30 September 2022, perihal Pelimpahan Perkara. Hal ini sangat janggal, mengapa dilimpahkan kepada Termohon 2. Bukankah kalau peristiwa pidananya terjadi di wilayah hukum Termohon 1 dan saksi-saksi ada di wilayah hukum Termohon 1, akan lebih efektif ditangani oleh Termohon 1. Kenapa, kok dilimpahkan kepada Termohon 2?;
c. Bahwa, perkara tersebut sejak tanggal 21 Oktober 2022 telah berstatus Penyidikan, sesuai dan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Sidik/882/X/RES.1.24/2022/Ditreskrimum, tanggal 21 Oktober 2022 jo. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) nomor : B/310/X/RES.1.24/2022/Ditreskrimum, tertanggal 21 Oktober 2022;
d. Bahwa, berdasarkan surat panggilan nomor : S.pgl/174/I/Res.1.24/2023/Ditreskrimum, tertanggal 16 Januari 2023, S.pgl/175/I/Res.1.24/2023/Ditreskrimum, tertanggal 16 Januari 2023, S.pgl/176/I/Res.1.24/2023/Ditreskrimum, tertanggal 16 Januari 2023, Para Pemohon telah berstatus sebagai TERSANGKA. Namun, Para Pemohon hingga saat ini (hingga diajukannya permohon ini) tidak pernah menerima Surat Keputusan atau Surat Ketetapan sebagai tersangka, baik dari Termohon 1 ataupun Termohon 2. Sehingga Para Pemohon merasa bingung dan tidak pernah tahu apa yang menjadi dasar dan alasan ditetapkannya Para Pemohon sebagai tersangka;
 
15. Bahwa, berdasarkan uraian-uraian diatas, diperoleh hal-hal sebagai berikut:
a. Penanganan atau penyidikan perkara yang dilakukan oleh Termohon 1 dan atau Termohon 2 telah dilakukan dengan tidak transparan;
b. Panggilan-panggilan dalam rangka pemeriksaan, baik sebagai saksi maupun tersangka, terhadap Para Pemohon tidak dilakukan sesuai dan melanggar ketentuan pasal 112 dan pasal 227 KUHAP. Sehingga panggilan-panggilan tersebut tidak sah menurut hukum dan harus dianggap tidak pernah ada panggilan kepada Para Pemohon dari Termohon 2, diantaranya namun tidak terbatas :
- Didalam surat panggilan tidak dijelaskan secara ringkas terkait peristiwa yang diduga merupakan peristiwa pidana yang akan dimintakan keterangan kepada Para Pemohon, kapan (tempus) dan dimana (locus) peristiwa tersebut terjadi. Termohon 2 hanya mengutip bunyi pasal 14 dan pasal 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana;
- Panggilan tidak disampaikan oleh petugas sebagaimana ketentuan pasal 227 KUHAP. Padahal Termohon 2 memiliki petugas yang ada di daerah domisili hukum Para Pemohon, yakni Termohon 1 dan Polsek Kecamatan Licin – Banyuwangi sebagai institusi terbawah dari Para Termohon;
- Surat-surat panggilan tersebut patut diduga sengaja dibuat dan dikirimkan dalam tenggang waktu yang tidak wajar, dengan rincian sebagaimana tabel berikut:
 
16. Bahwa, proses pemanggilan kepada Para Pemohon dengan cara yang tidak sesuai dan melanggar KUHAP sebagaimana terurai diatas patut diduga secara sengaja dilakukan agar Para Pemohon tidak dapat melakukan pembelaan diri, dianggap tidak kooperatif dan dapat dilakukan penangkapan hingga penahanan. Sehingga oleh karenanya, tindakan Termohon 2 tersebut patut diketegorikan sebagai tindakan sewenang-wenang yang sangat merugikan Para Pemohon;
 
IV. ANALISIS YURUDIS
A. SURAT PERINTAH DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP) YANG DITERBITKAN OLEH TERMOHON 2 TIDAK SESUAI DAN MELANGGAR PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2019 TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
1. Bahwa, selain KUHAP sebagai dasar Penyidik Polri dalam melakukan penanganan peristiwa atau tindak pidana, Polri sendiri mengatur secara internal dalam melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana yang tertuang didalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana (Perkap 6/2019);
 
2. Bahwa, ketentuan pasal 14 ayat (1) Perkap 6/2019 secara tegas menyatakan: 
“SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan”.
 
Selain itu, pasal 14 ayat (2) Perkap 6/2019 juga menyatakan : “SPDP paling sedikit memuat: 
a. dasar penyidikan berupa laporan polisi dan Surat Perintah Penyidikan; 
b. waktu dimulainya penyidikan; 
c. jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana yang disidik; 
d. identitas tersangka; dan 
e. identitas pejabat yang menandatangani SPDP.
 
3. Bahwa, sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Para Pemohon pada akhir bulan Oktober 2022 menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Termohon 2 (in casu Kepolisian Daerah Jawa Timur) nomor : B/310/X/RES.1.24/2022/Ditreskrimum, tertanggal 21 Oktober 2022, yang pada pokoknya memberitahukan bahwa Termohon 2 sejak tanggal 21 Oktober 2022 telah mulai melakukan penyidikan dugaan tindak pidana barang siapa menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat dan atau barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 dan atau 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilaporkan oleh SUPARMO kepada Termohon 1 (in casu Kepolisian Daerah Jawa Timur Resort Kota Banyuwangi) sebagaimana Laporan Polisi Nomor : LP.B/286/VIII/2022/SPKT/Polresta Banyuwangi/Polda Jawa Timur, tanggal 18 Agustus 2022 yang diterbitkan oleh Termohon 1;
 
4. Bahwa, SPDP tersebut dikirimkan kepada Turut Termohon (in casu Kejaksaan Tinggi Jawa Timur) dengan tembusan Kapolda Jatim, Irwasda Polda Jatim, Ditreskrimum Polda Jatim, Kabidkum Polda Jatim, Kabidpropam Polda Jatim, Sdr. Suparmo (Pelapor), dan Sdr. Abdillah, Dkk. (terlapor). Sedangkan nama-nama Para Pemohon tidak terdapat didalam SPDP tersebut;
 
5. Bahwa, Para Pemohon tidak tahu mengapa mendapatkan SPDP tersebut dari Termohon 2 karena didalamnya selain tidak dijelaskan mengenai peristiwa apa yang sedang dilakukan penyidikan yang diduga merupakan peristiwa pidana (tindak pidana) dan tidak disebutkan apa status Para Pemohon dalam peristiwa tersebut karena sama sekali tidak ada nama Para Pemohon didalamnya;
 
6. Bahwa, sebelumnya Para Pemohon juga tidak pernah menerima surat permintaan klarifikasi yang dikirimkan secara sah dan resmi, baik dari Termohon 1 selaku yang menerima laporan a quo maupun Termohon 2, terkait peristiwa pidana yang sedang dilaporkan oleh Sdr. Suparmo. Sehingga apabila ada permintaan klarifikasi dari Termohon 1 atau Termohon 2, maka Para Pemohon dapat memahami mengenai duduk perkaranya dan dapat memberikan klarifikasi;
 
7. Bahwa, seharusnya berdasarkan ketentuan pasal 14 ayat (1) dan (2) Perkap 6/2019, SPDP yang diterbitkan oleh Termohon 2 dikirimkan langsung (bukan tembusan) kepada Para Pemohon apabila Para Pemohon merupakan Terlapor didalam perkara yang sedang disidik tersebut, sehingga sejak dari awal Para Pemohon sudah dapat mempersiapkan diri untuk memberikan penjelasan sebagai bagian dari upaya pembelaan diri yang merupakan hak asasi manusia. Selain itu, SPDP tersebut juga HARUS memuat uraian singkat tindak pidana yang disidik. Didalam SPDP yang diterima oleh Para Pemohon tidak memuat uraian singkat tindak pidana yang disidik, melainkan hanya memuat pasal yang dipersangkakan yakni pasal 14 dan 15 Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana beserta uraian bunyi pasalnya;
 
8. Bahwa, sehingga dengan demikian SPDP yang diterbitkan oleh Termohon 2 a quo nyata-nyata tidak sah menurut hukum, sehingga proses penyidikan hingga penetapan tersangka atas diri Para Pemohon berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP.B/286/VIII/2022/SPKT/Polresta Banyuwangi/Polda Jawa Timur, tanggal 18 Agustus 2022 adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum, dan oleh karenanya Penyidikan dan Penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
 
B. SURAT PANGGILAN TERMOHON 2 TIDAK SESUAI DAN MELANGGAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU
1. Bahwa, sebagaimana kita ketahui untuk melakukan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana, KUHAP telah memberikan kewenangan kepada penyidik dan penyidik pembantu untuk melakukan pemanggilan terhadap : a. Tersangka, yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan dan setelah diperiksa sebelumnya patut diduga sebagai pelaku tindak pidana; b. Saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa; c. Pemanggilan seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang sesuatu perkara pidana yang sedang diperiksa;
 
2. Bahwa, agar panggilan yang dilakukan dapat dianggap sah dan sempurna menurut hukum, maka harus dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang, yakni sebagaimana diatur dalam pasal 112 dan 227 KUHAP, yang menyatakan sebagai berikut : 
a. Pasal 112 KUHAP :
(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.
 
b. Pasal 227 KUHAP :
(1) Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir.
(2) Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal serta tandatangan, baik oleh petugas maupun orang yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak menandatangani maka petugas harus mencatat alasannya.
(3) Dalam hal orang yang dipanggil tidak terdapat di salah satu tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), surat panggilan disampaikan melalui kepala desa atau pejabat dan jika di luar negeri melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat di mana orang yang dipanggil biasa berdiam dan apabila masih belum juga disampaikan, maka surat panggilan ditempelkan di tempat p pengumuman kantor pejabat yang mengeluarkan panggilan tersebut.
 
3. Bahwa, berdasarkan ketentuan pasal 112 dan 227 KUHAP diatas diketahui bahwa bentuk dan cara pemangggilan dalam pemeriksaan perkara pidana yang sah menurut hukum, meliputi: 
a. Panggilan berbentuk “surat panggilan”, yang memuat antara lain : 1. Alasan pemanggilan, dalam hal ini haruslah tegas dijelaskan status orang yang dipanggil apakah sebagai tersangka atau saksi, dan uraian singkat tindak pidana yang akan dimintakan keterangan, baik locus maupun tempus-nya, agar memberikan kepastian hukum dan kejelasan bagi orang yang dipanggil; 2. Surat panggilan ditanda tangani pejabat penyidik (pasal 112 ayat 1);
b. Pemanggilan memperhatikan tenggang waktu yang wajar dan layak, yaitu : Memperhatikan tenggang waktu antara tanggal hari diterimanya surat panggilan dengan hari tanggal orang yang dipanggil tersebut menghadap, yakni surat panggilan harus disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan dalam surat panggilan (pasal 227 ayat 1 KUHAP);
c. Panggilan dilaksanakan oleh petugas dan harus bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah diterima dengan membubuhkan tanggal serta tandatangan. Kecuali, terpanggil tidak ada di tempat, maka panggilan disampaikan melalui kepala desa, pejabat atau perwakilan RI di luar negeri apabila terpanggil ada di luar negeri;
 
4. Bahwa, apabila ketentuan pasal 112 dan 227 KUHAP tidak terpenuhi maka panggilan tersebut tidak memenuhi syarat untuk dianggap sebagai panggilan yang sah menurut hukum. Sehingga secara mutatis mutandis surat-surat panggilan tersebut dianggap tidak ada;
 
5. Bahwa, sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Termohon 2 dalam melakukan panggilan selain tidak transparan juga tidak sesuai dan melanggar ketentuan pasal 112 jo. 227 KUHAP dengan cara :
- Didalam surat panggilan tidak diuraikan secara ringkas terkait peristiwa yang diduga merupakan peristiwa pidana (tindak pidana) yang akan dimintakan keterangan kepada para Pemohon, kapan (tempus) dan dimana (locus) peristiwa tersebut terjadi. Termohon 2 hanya mengutip uraian atau bunyi pasal 14 dan pasal 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Meskipun Para Pemohon melalui kuasanya telah menyatakan keberatan dengan harapan Termohon 2 memberikan penjelasan dan Para Pemohon dapat mengerti sehingga bisa memberikan keterangan terkait peristiwa tersebut. Namun Termohon 2 sama sekali tidak membalas surat keberatan tersebut dan atau tidak pula memberikan penjelasan kepada Para Pemohon;
- Panggilan tidak disampaikan oleh petugas sebagaimana ketentuan pasal 227 KUHAP melainkan dikirimkan melalui jasa pengiriman JNE. Padahal Termohon 2 memiliki petugas yang ada di daerah domisili hukum Para Pemohon, yakni Termohon 1 yang awalnya menerima laporan yang sedang ditangani oleh Termohon 2 dan Kepolisian Sektor (Polsek) Kecamatan Licin – Banyuwangi. Akibatnya, surat-surat tersebut tidak diterima langsung oleh Para Pemohon dan baru diterima dalam waktu yang bersamaan dengan jadwal pemeriksaan, sehari sebelum jadwal pemeriksaan dan atau setelah jadwal pemeriksaan. Padahal berdasarkan ketentuan pasal 227 ayat (2) KUHAP, secara tegas diatur bahwa panggilan disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan;
- Surat-surat panggilan tersebut patut diduga sengaja dibuat dan dikirimkan melalui jasa pengiriman JNE dalam tenggang waktu yang tidak wajar, sehingga diterima sehari sebelum jadwal pemeriksaan, pada hari yang sama dengan jadwal pemeriksaan, dan atau sehari setelah jadwal pemeriksaan. Padahal berdasarkan ketentuan pasal 227 ayat (1) dan (2) KUHAP, secara tegas diatur bahwa panggilan disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan dan disampaikan oleh petugas. Sehingga dengan demikian surat-surat panggilan tersebut tidak sah menurut hukum dan secara mutatis mutandis surat-surat panggilan tersebut dianggap tidak pernah ada;
 
6. Bahwa, Perkap No. 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana Pasal 17 ayat (2) telah menegaskan bahwa, “Pemanggilan terhadap Tersangka/Saksi/Ahli dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dalam hal ini, ketentuan yang dimaksud tentunya adalah pasal 112 dan 227 KUHAP;
 
7. Bahwa, M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan”, menyatakan bahwa, pada dasarnya, supaya panggilan yang dilakukan aparat penegak hukum pada semua tingkat pemeriksaan dapat dianggap sah dan sempurna, harus dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Ketentuan syarat sahnya panggilan pada tingkat penyidikan diatur dalam Pasal 112, Pasal 119, dan Pasal 227 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”);
 
8. Bahwa, terkait ketentuan dalam Pasal 227 ayat (1) dan (2) KUHAP, M. Yahya Harahap, S.H. berpendapat bahwa tata cara pemanggilan dilakukan oleh petugas antara lain dengan memperhatikan ketentuan di bawah ini:
a. Panggilan dilakukan langsung di tempat tinggal orang yang dipanggil. Petugas harus mendatangi sendiri tempat tinggal orang yang dipanggil. Tidak boleh melalui kantor pos atau dengan sarana lain, seperti Elteha dan sebagainya, jika alamat tempat tinggal yang bersangkutan jelas diketahui.
b. Penyampaian panggilan dilakukan dengan jalan bertemu sendiri dengan orang yang dipanggil. Petugas yang menyampaikan panggilan harus langsung bertemu sendiri dengan oknum yang dipanggil. Jadi, harus bertemu secara in person dengan oknum yang dipanggil. Panggilan tidak dapat dilakukan dengan perantaraan orang lain.
c. Petugas yang menjalankan panggilan diwajibkan membuat catatan yang menerangkan bahwa panggilan telah disampaikan dan telah diterima langsung oleh yang bersangkutan.
 
9. Bahwa, lebih lanjut menurut M. Yahya Harahap, S.H., bertitik tolak pada ketentuan dalam Pasal 227 ayat (2) KUHAP yang mewajibkan petugas untuk langsung bertemu sendiri dengan orang yang dipanggil, penyampaian panggilan kepada anak yang sudah dewasa atau kepada istri maupun suami orang yang dipanggil dianggap tidak sah. Panggilan harus disampaikan langsung oleh petugas kepada person orang yang dipanggil supaya cara penegakan hukum harus didasarkan pada ketentuan yang pasti. Di samping itu, maksudnya adalah agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang terhadap orang yang tidak bersangkut-paut pada suatu peristiwa tindak pidana;
 
10. Bahwa, dengan demikian jelas dan terang bahwa panggilan yang dilakukan oleh Termohon 2 kepada Para Pemohon nyata-nyata tidak sesuai dan melanggar ketentuan pasal 112 dan 227 KUHAP, sehingga panggilan tersebut tidak memenuhi syarat untuk dianggap sebagai panggilan yang sah menurut hukum. Dengan demikian secara mutatis mutandis surat-surat panggilan tersebut dianggap tidak ada;
 
11. Bahwa, fakta panggilan yang melanggar dan tidak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut menguatkan dalil Para Pemohon bahwa dalam proses pemeriksaan perkara, penyidikan dan atau penetapan Tersangka atas diri Para Pemohon dilakukan secara tidak transparan, tidak professional, dan melawan hukum. Tindakan tersebut patut diduga secara sengaja dilakukan agar Para Pemohon tidak dapat melakukan pembelaan diri, dianggap tidak kooperatif dan dapat dilakukan penangkapan hingga penahanan. Termohon 2 dalam melakukan tindakan penetapan tersangka terhadap Para Pemohon tidak berlandaskan pada asas dan prinsip kehati-hatian. Sehingga tindakan Termohon 2 tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang yang sangat merugikan Para Pemohon;
 
12. Bahwa, oleh karenanya segala tindakan Termohon 2 yang, termasuk namun tidak terbatas, menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Sidik/882/X/RES.1.24/2022/Ditreskrimum, tanggal 21 Oktober 2022  dan segala Surat Keputusan dan atau Surat Ketetapan yang menetapkan Para Pemohon sebagai tersangka, haruslah dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya penetapan-penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
 
C. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA
1. Bahwa, Pasal 1 angka 14 KUHAP menyatakan bahwa, “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Adanya “bukti permulaan” merupakan syarat mutlak agar seseorang dapat dijadikan tersangka dalam suatu tindak pidana;
 
2. Bahwa, KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai yang dimaksud dan/atau batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan” dalam pasal 1 angka 14 KUHAP. Sehingga Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor : 21/PUU-XII/2014, akhirnya mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP;
 
3. Bahwa, didalam pertimbangannya halaman 98 putusan a quo, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa, “…agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, …(dst.)”. 
 
4. Bahwa, Mahkamah Konstitusi menganggap syarat pemeriksaan calon tersangka disamping minimum dua alat bukti adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan secara seimbang dengan minimum dua alat bukti yang ditemukan oleh Penyidik. Hal ini adalah untuk menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup;
 
5. Bahwa, sebagaimana telah diuraikan di atas, Para Pemohon sama sekali tidak pernah dilakukan pemeriksaan oleh Termohon 2 sebelum ditetapkan sebagai tersangka karena Termohon 2 dalam melakukan panggilan kepada Para Pemohon selain tidak transparan juga tidak sesuai dan melanggar ketentuan pasal 112 dan 227 KUHAP sebagaimana telah terurai di atas. Sehingga surat-surat panggilan tersebut tidak sah menurut hukum dan secara mutatis mutandis surat-surat panggilan tersebut dianggap tidak pernah ada;
 
6. Bahwa, dengan demikian penetapan Para Pemohon sebagai tersangka oleh Termohon 2 tersebut secara mutatis mutandis juga telah melanggar dan tidak berdasarkan hukum. Yakni, sebagaimana dimaksud dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor : 21/PUU-XII/2014 yang mensyaratkan harus berdasarkan dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP dan disertai pemeriksaan calon tersangkanya;
 
7. Bahwa, oleh karena Putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka mestinya harus menjadi rujukan bagi Termohon 2 dalam setiap proses pemeriksaan, termasuk dalam perkara yang menjadikan Para Pemohon sebagai Tersangka;
 
8. Bahwa, oleh karenanya segala tindakan Termohon 2 yang, termasuk namun tidak terbatas, menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Sidik/882/X/RES.1.24/2022/Ditreskrimum, tanggal 21 Oktober 2022  dan segala Surat Keputusan dan atau Surat Ketetapan yang menetapkan Para Pemohon sebagai tersangka, haruslah dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya penetapan-penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
 
 
D. PENYIDIKAN DAN PENETAPAN PARA PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN SEWENANG-WENANG DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM
1. Bahwa, sebagaimana kita ketahui Negara Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Negara telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”, artinya baik Para Pemohon maupun Para Termohon harus tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam proses penegakan hukum. Jika ada hal yang kemudian mengenyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut, maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan;
 
2. bahwa, Ketua Komisi Hukum Nasional Prof. J.E. Sahetapy saat membuka paparan hasil penelitian Komisi Hukum Nasional terhadap RUU KUHAP di Jakarta, Kamis (12/11/2009) mengingatkan konsep dasar tujuan hukum acara pidana yaitu mengontrol dan mengawasi aparat penegak hukum. Bukan malah untuk mengawasi tersangka atau terdakwa. Sahetapy mengutip pandangan Jerome Skolnick, profesor New York University yang pernah menjadi Presiden American Society of Criminology, bahwa criminal procedure is intended to control authorities, not criminals. Jadi, harus dipahami bahwa hukum acara pidana (KUHAP) dibuat untuk membatasi kekuasaan negara –yang diwakili penyidik dan jaksa—dalam bertindak terhadap warga negara yang terlibat proses pidana. Oleh karena itu, penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum dalam proses pidana harus dihindari semaksimal mungkin;
 
3. Bahwa, dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas);
 
4. Bahwa, bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan; 
 
5. Bahwa, sebagaimana telah Para Pemohon uraikan diatas, bahwa Termohon 2 dalam melakukan penyidikan dan menetapkan Para Pemohon sebagai tersangka dilakukan dengan cara yang tidak sesuai sehingga melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni, termasuk namun tidak terbatas, sebagai berikut :
a. SPDP yang diterbitkan oleh Termohon 2 melanggar ketentuan pasal 14 ayat (1) dan (2) Perkap 6/2019, yakni SPDP tidak dikirimkan langsung (hanya tembusan) kepada Para Pemohon apabila Para Pemohon merupakan Terlapor didalam perkara yang sedang disidik, dan SPDP tersebut juga tidak memuat uraian singkat tindak pidana yang disidik. Didalam SPDP yang diterima oleh Para Pemohon hanya memuat pasal yang dipersangkakan yakni pasal 14 dan 15 Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana beserta uraian bunyi pasalnya saja;
b. Termohon 2 didalam melakukan panggilan selain tidak transparan juga tidak sesuai dan melanggar ketentuan pasal 112 dan 227 KUHAP, yakni:
• Didalam surat panggilan tidak dijelaskan secara ringkas terkait peristiwa yang diduga merupakan peristiwa pidana yang akan dimintakan keterangan kepada para Pemohon, kapan (tempus) dan dimana (locus) peristiwa tersebut terjadi. Termohon 2 hanya mengutip bunyi pasal 14 dan pasal 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Meskipun Para Pemohon melalui kuasanya telah menyatakan keberatan dengan harapan Termohon 2 memberikan penjelasan dan Para Pemohon dapat pemberikan keterangan terkait peristiwa tersebut. Namun Termohon 2 sama sekali tidak membalas dan atau memberikan penjelasan kepada Para Pemohon;
• Panggilan tidak disampaikan oleh petugas sebagaimana ketentuan pasal 227 KUHAP melainkan dikirimkan melalui jasa pengiriman JNE. Padahal Termohon 2 memiliki petugas yang ada di daerah domisili hukum Para Pemohon, yakni Termohon 1 dan Polsek Kecamatan Licin – Banyuwangi;
• Surat-surat panggilan tersebut patut diduga sengaja dibuat dan dikirimkan melalui jasa pengiriman JNE dalam tenggang waktu yang tidak wajar, sehingga diterima sehari sebelum jadwal pemeriksaan, pada hari yang sama dengan jadwal pemeriksaan, dan sehari setelah jadwal pemeriksaan, sebagaimana terurai di atas; 
 
c. Penetapan Para Pemohon sebagai tersangka tidak didahului dengan adanya pemeriksaan kepada Para Pemohon karena Termohon 2 dalam melakukan panggilan kepada Para Pemohon selain tidak transparan juga tidak sesuai dan melanggar ketentuan pasal 112 dan pasal 227 KUHAP sebagaimana telah terurai di atas. Sehingga surat-surat panggilan tersebut tidak sah menurut hukum dan secara mutatis mutandis surat-surat panggilan tersebut dianggap tidak pernah ada;
 
6. Bahwa, meskipun Para Pemohon melalui kuasanya telah berupaya menyampaikan keberatan dengan harapan ada penjelasan dari Termohon 2, namun Termohon 2 sama sekali tidak merespon dan memberikan penjelasan. Sehingga dengan demikian, Termohon 2 patut diduga dengan sengaja bertindak tidak transaparan dalam melakukan penyidikan;
 
7. Bahwa, dengan demikian apa yang dilakukan oleh Termohon 2 tersebut tidak sesuai dengan semangat yang tertuang dalam rasio desidendi menimbang huruf a Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang menyatakan sebagai berikut : “bahwa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas, fungsi, dan wewenang di bidang penyidikan tindak pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang dilaksanakan secara profesional, transparan dan akuntabel terhadap setiap perkara pidana guna terwujudnya supremasi hukum yang mencerminkan kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan”;
 
8. Bahwa, berdasarkan uraian tersebut di atas dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon 2 kepada Para Pemohon dengan menerbitkan surat perintah penyidikan dan menetapkan Para Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan berdasarkan prosedur yang tidak benar dan melanggar hukum, maka Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi yang memeriksa dan mengadili perkara a quo hendaknya menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penyidikan dan penetapan tersangka terhadap diri Para Pemohon haruslah dinyatakan merupakan penetapan yang tidak sah dan batal demi hukum dan atau dibatalkan serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
 
9. Bahwa, adanya fakta Termohon 2 melakukan pemanggilan secara tidak transparan, surat panggilan dibuat dan dikirimkan melalui jasa pengiriman JNE dalam tenggang waktu yang tidak wajar, sehingga diterima sehari sebelum jadwal pemeriksaan, pada hari yang sama dengan jadwal pemeriksaan, dan sehari setelah jadwal pemeriksaan, serta tidak diantarkan oleh petugas, sederhananya panggilan-panggilan tersebut tidak sesuai dan melanggar ketentuan pasal 112  dan 227 KUHAP, maka patut diduga terkandung itikad buruk (bad faith) dari Termohon 2, yakni proses penanganan perkara yang dilakukan oleh Termohon 2 tidak murni penegakan hukum melainkan kriminalisasi terhadap diri Para Pemohon. Lebih-lebih pelimpahan  perkara dari Termohon 1 kepada Termohon 2 sebagaimana surat Termohon 1 Nomor : R/393/IX/RES.7.5./2022/Satreskrim, tanggal 30 September 2022, perihal Pelimpahan Perkara adalah praktek yang sangat janggal. Mengapa dilimpahkan kepada Termohon 2?. Bukankah kalau peristiwa pidananya terjadi di wilayah hukum Termohon 1 dan saksi-saksi ada di wilayah hukum Termohon 1, akan lebih efektif ditangani oleh Termohon 1. Sehingga oleh karenanya, Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi yang memeriksa dan mengadili perkara a quo hendaknya menjatuhkan putusan dengan memerintahkan kepada Termohon 1 dan Termohon 2 untuk menghentikan penyidikan terhadap Laporan Polisi Nomor : LP.B/286/VIII/2022/SPKT/Polresta Banyuwangi/Polda Jawa Timur, tanggal 18 Agustus 2022 yang diterbitkan oleh Termohon 1;
 
10. Bahwa, oleh karena dugaan peristiwa pidana yang dilakukan penyidikan oleh Termohon 2 yang semula dilaporkan kepada Termohon 1 sebagaimana Laporan Polisi Nomor : LP.B/286/VIII/2022/SPKT/Polresta Banyuwangi/Polda Jawa Timur, tanggal 18 Agustus 2022, SPDP-nya telah dikirimkan kepada Turut Termohon, maka sudah sepatutnya Turut Termohon juga dihukum untuk tunduk dan taat terhadap putusan dalam perkara a quo;
 
11. Bahwa, meskipun proses penanganannya tidak sesuai dan bertentangan serta melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, Para Pemohon khawatir Termohon 1 dan atau Termohon 2 akan tetap melanjutkan proses penanganan perkara sebagaimana Laporan Polisi Nomor : LP.B/286/VIII/2022/SPKT/Polresta Banyuwangi/Polda Jawa Timur, tanggal 18 Agustus 2022  atas nama pelapor Suparmo tersebut. Sehingga untuk melindungi hak-hak Para Pemohon dari tindakan sewenang-wenang Termohon 1 dan atau Termohon 2 yang berlanjut, Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi yang memeriksa dan mengadili perkara a quo hendaknya menjatuhkan putusan provisionil berupa perintah kepada Termohon 1 dan atau Termohon 2 agar menghentikan sementara waktu segala tindakan yang berdasarkan pada Laporan Polisi Nomor : LP.B/286/VIII/2022/SPKT/Polresta Banyuwangi/Polda Jawa Timur, tanggal 18 Agustus 2022.
 
V. PETITUM
Berdasarkan pada argumen dan fakta-fakta yuridis sebagaimana terurai di atas, Para Pemohon mohon kepada Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini yang amarnya sebagai berikut :
DALAM PENUNDAAN (PROVISIONIL):
- Memerintahkan kepada Termohon 1 dan Termohon 2 untuk menghentikan sementara waktu segala tindakan yang berdasarkan pada Laporan Polisi Nomor : LP.B/286/VIII/2022/SPKT/Polresta Banyuwangi/Polda Jawa Timur, tanggal 18 Agustus 2022.
 
DALAM POKOK PERKARA
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Para Pemohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud Pasal 14 dan 15 Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, sebagaimana Laporan Polisi Nomor : LP.B/286/VIII/2022/SPKT/Polresta Banyuwangi/Polda Jawa Timur, tanggal 18 Agustus 2022 adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum, dan oleh karenanya Penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan semua Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka atas diri Para Pemohon terkait peristiwa pidana sebagaimana sebagaimana dimaksud Pasal 14 dan 15 Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, sebagaimana Laporan Polisi Nomor : LP.B/286/VIII/2022/SPKT/Polresta Banyuwangi/Polda Jawa Timur, tanggal 18 Agustus 2022 adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum, dan oleh karenanya Surat Ketetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Menyatakan Penyidikan terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud Pasal 14 dan 15 Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP.B/286/VIII/2022/SPKT/Polresta Banyuwangi/Polda Jawa Timur, tanggal 18 Agustus 2022 adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum, dan oleh karenanya Penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
5. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Sidik/882/X/RES.1.24/2022/Ditreskrimum, tanggal 21 Oktober 2022 yang menjadi dasar penetapan Tersangka atas diri Para Pemohon terkait peristiwa pidana sebagaimana sebagaimana dimaksud Pasal 14 dan 15 Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana sebagaimana Laporan Polisi Nomor : LP.B/286/VIII/2022/SPKT/Polresta Banyuwangi/Polda Jawa Timur, tanggal 18 Agustus 2022 adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum, dan oleh karenanya Surat Perintah Penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
6. Memerintahkan kepada Termohon 1 dan Termohon 2 untuk menghentikan penyidikan terhadap Laporan Polisi Nomor : LP.B/286/VIII/2022/SPKT/Polresta Banyuwangi/Polda Jawa Timur, tanggal 18 Agustus 2022;
7. Menyatakan tidak sah segala keputusan dan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon 1 dan atau Termohon 2 yang berkaitan dengan Laporan Polisi Nomor : LP.B/286/VIII/2022/SPKT/Polresta Banyuwangi/Polda Jawa Timur, tanggal 18 Agustus 2022;
8. Menghukum Termohon 1 dan Termohon 2 untuk memulihkan hak Para Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
9. Menghukum Turut Termohon untuk tunduk dan taat terhadap putusan dalam perkara a quo;
10. Menghukum Termohon 1 dan Termohon 2 secara tannggung renteng untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
 
Atau,
 
Apabila Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Pihak Dipublikasikan Ya